Aku seorang mahasiswa STKIP Al Hikmah
Surabaya yang mengambil progam studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar yang masih
semester satu. Alasan kenapa aku mengambil prodi ini sebenarnya tidak ada,
tidak ada alasan khusus bagiku mengambil progam studi ini. Tingkah lucu dan
absurd anak SD membuatku sedikit tertarik dengan dunia mereka, walaupun tidak
ada niatan bagiku untuk sepenuhnya ikut terlibat dalam dunia yang terasa tak
masuk akal.
Terjebak di suatu tempat yang tak pernah
aku bayangkan sebelumnya. Tidak! Aku tidaklah terjebak. Ini jalanku, jalan yang
aku pilih sekarang akan membuka cakrawala baru bagiku. Dengan tingkah lucu dan
absurd mereka yang membuatku tertantang akan dunia mereka. Beban pikiran yang
terus membelenggu didalam kepala serasa hilang seketika ketika melihat mereka.
Kisah menarik tentangku akan aku mulai
ketika aku diberi kesempatan untuk berpetualang di dunia mereka, dunia sekolah
dasar. Malam hari sebelum aku mencicipi dunia mereka di esok hari yang aku
harap akan menjadi hari yang indah bagiku, entah kenapa aku merasa ada sesuatu
yang terus menari-nari di dalam pikiranku. Bayangan tentang kurcaci-kurcaci
mungil dengan segala tingkahnya membuat hatiku tergelitik.
***
“Siap grakk!!”, Pak Bos menyiapkan
pasukan sebelum terjun ke medan perang.
Rencana pagi ini sebenarnya berangkat
naik bus yang sudah disediakan oleh pihak kampus, namun karena putus sambung
sinyal karena badai ujian yang melanda sehingga memaksa kami gigit jari. Dengan
beralaskan sepatu hitam mengkilat karena malam harinya sudah aku siapkan
matang-matang untuk hari ini, aku berjalan mengikuti arus kehidupan dunia ini.
Gerbang SD Al Hikmah Surabaya yang tampak
kokoh menyambut kedatanganku beserta pasukan pejuang yang siap terjun ke medan
perang. Pak satpam dengan ramah menyambut kedatangan kami yang nampak
ngos-ngosan bagai dikejar deadline pengumpulan
tugas kuliah. Sayang tak ada kopi dan koran yang tersedia untuk kami menikmati pagi ini.
***
Rapat Paripurna pun diadakan dadakan oleh
dewan petinggi prodi beserta jajaran perwakilan pihak sekolah SD Al Hikmah di kantin. Dengan berbagai arahan beserta ceramah singkat
aku pun menganggukkan kepala sebagai isyarat bahwa aku sudah paham.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah
tujuh, kurcaci-kurcaci lucu nan menggemaskan pun mulai memasuki gerbang
sekolah. Pandangan terus terpaku pada mereka yang datang silir berganti.
Perasaan bahagia yang berteriak didalam hati terus mendorongku untuk menyapa
mereka dengan senyuman hangat yang aku harap tidak akan menakuti mereka.
Inilah yang paling aku suka dari mereka
para pemilik imajinasi kelas dewa, selalu ada pemikiran-pemikiran absurd yang
mereka utarakan ketika aku dengan beberapa anak sedang ngopi (ngobrol pagi).
“Kak pernah liat ikan telbang pake sayap
gak?”, sebuah pertanyaan yang membuatku tujuh keliling persegi panjang. Sejauh
ini aku belajar, mulai dari zaman Hiroshima dan Nagasaki di bom hingga naruto
menjadi hokage ke tujuh aku belum pernah melihat yang namanya ikan terbang
apalagi punya sayap. Aku pahami mereka dengan segala khayalan tingkat tinggi
yang tidak akan bisa dipahami oleh akal sehat manusia. Dunia mereka sangatlah
jauh berbeda dengan dunia orang dewasa. Dari sini aku baru mengerti kenapa
sinchan mengatakan orang dewasa itu aneh. Orang dewasa tidak pernah bisa
memahami imajinasi mereka, dan memaksa berpikiran yang lebih konkrit dan terima
oleh akal manusia.
***
“Anak-anak hari ini kita kedatangan tamu
yang istimewa, kakak-kakak yang berdiri dibelakang kalian ini untuk beberapa
hari ke depan akan berada disini bersama kalian. Mari kita sambut kakak-kakak
dengan ramah dan jangan membuat mereka menangis. Kami persilahkan kepada
kakak-kakak mahasiswa STKIP Al Hikmah untuk memperkenalkan diri ke depan.”,
begitu kepala sekolah SD Al Hikmah mempersilahkan kami memperkenalkan diri di
hadapan siswa kelas 1 sampai kelas 3 di apel pagi pada Senin pagi. Tepuk tangan
serta sorak-sorak meriah seraya mengiringi perkenalan singkat tentang kami.
“Kak namanya siapa?”, salah seorang siswa
bertanya namaku.
“Panggil aja kak Dhani.”, jawabku dengan
senyum manis semanis madu.
Percakapan singkatku dengannya yang ku
pikir dia bernama ariel, keputusan sepihak ini aku patenkan karena di bet nama
tertulis nama itu. Suasana keakraban langsung terjalin antara aku dan dia asal
jangan ada orang ketiga diantara kita.
***
Entah mengapa keringat dingin terus
mengucur deras dan membasahi seluruh raga ini sebelum aku memasuki ruang kelas
bersama seorang partner yang berasal dari pulau seberang. Sempat terpaku karena
demam panggung dan merasa ada serangan badai prahara yang mencoba meruntuhkan
nyaliku. Keyakinan diri yang sudah aku bangun sejak zaman Majapahit dengan
fondasi yang kokoh dan ditangani langsung oleh arsitek ahli dari Jerman ini tak
akan ku biarkan roboh begitu saja.
“Sikap berdo’a! Tangan diangkat, kepala
ditundukkan, berdo’a mulai!”, imut sekali bocah itu ketika memimpin
teman-temannya untuk berdo’a. Aku merasa seperti ada sesuatu yang merasuki
diriku. Apa ini? Aku mulai terbawa suasana, apakah aku mulai tertular virus
absurd? Ini tak boleh dibiarkan. Dengan segala upaya aku menghindari serangan
bertubi-tubi dari keabsurdan mereka. Bendera putih ku kibarkan, aku menyerah
dengan mereka. Hatiku akhirnya luluh dengan tingkah menggemaskan mereka.
***
Tiba waktu istirahat makan siang,
akhrinya aku bisa memanjakan perutku yang dari tadi terus meronta-ronta dengan
rengekan yang membuat orang mereasa kasihan mendengarnya. Dengan sigap ku raih
piring lengkap dengan amunisinya yang tertata rapi diatas meja.
“Kak Dhani!”, ku dengar suara bocah
memanggilku. Ternyata itu bocah yang tadi pagi sok akrab denganku, lebih
tepatnya aku yang sok akrab dengannya. Ku hampiri mejanya dengan senyum diwajah
yang telah ku latih belakangan ini agar terlihat manis dihadapan
kurcaci-kurcaci mungil yang menggemaskan.
“Hai dek, apa kabar?”, sebuah pembicaraan
basa-basi ku lontarkan untuk mencairkan suasana.
“Kak kapan masuk ke kelasku?”, tanyanya
padaku. Senyum manja darinya dengan muka yang seolah tak memilik dosa, dia
terus membujukku untuk masuk ke kelasnya.
Ku lihat jadwal pembagian kelas dengan
seksama, tanpa berkedip aku melihatnya. Namun apa daya, berdasarkan jadwal yang
sudah ditetapkan aku tidak diberi kesempatan untuk masuk kelasnya. Mungkin kita
tidak ditakdirkan untuk bersama.
***
Hari demi hari terus berlalu, dengan
segala aktivitas seperti hari-hari sebelumnya. Tingkah lucu dan absurd dari
kurcaci-kurcaci mungil sudah mulia terbiasa aku lihat setiap harinya. Tanpa aku
sadari aku mulai membaur dengan mereka, aku bukan lagi sok akrab tapi sudah
benar-benar akrab dengan mereka.
Suatu waktu aku sedang ditugaskan di unit
perpustakaan, tempat dimana buku-buku tertata rapi namun bisa saja berantakan
seketika jika kurcaci-kurcaci mungil datang. Ku jamah satu per satu buku yang
tertata rapi di rak, buku bacaan anak-anak dengan gambar yang menarik bak surga
dunia.
“Kak Dino.”, suara kurcaci-kurcaci kecil
iseng mengerjaiku. Mereka terus memanggilku dengan nama Dino. Tiap kali aku
mencoba mendekat, mereka terus berlari diantara rak-rak buku yang menutupi
tubuh mungil mereka. Apakah aku terlalu menakutkan bagi mereka? Ku rasa tidak,
mungkin itu karena aku berkesan bagi mereka.
***
Ku lihat kembali jadwal kelas yang akan
aku masuki hari ini, memastikan aku tidak salah kelas. Kelas 4D? Kelas putri?
Dalam hatiku timbul pertanyaan, seperti apa rasanya jika mengajar di kelas yang
semua peserta didiknya perempuan. Mungkin lebih mudah dibanding mengajar
dikelas putra.
Ku
tarik kembali asumsi ku seputar kelas 4D, karena aku telah salah menilai kelas
ini. Kesan pertama yang aku dapatkan yaitu kelas ini benar-benar berisik bak
suara emak-emak kalau sedang asyik ngerumpi.
“Anak-anak,
hari ini kita kedatangan kakak keren dari STKIP Al Hikmah. Tapi jangan hanya
dilihat dari kerennya saja, kalian nanti juga bisa belajar bareng sama kakak
yang duduk di belakang kalian. Penasaran kan? Langsung saja biar gak penasaran,
silahkan kak Dhani memperkenalkan dirinya sekaligus bermain sama adik-adiknya
disini!”, wali kelas memintaku untuk memperkenalkan diri di depan kelas. Kisah
yang paling menarik selama aku berada di SD Al Hikmah berawal dari sini.
“Assalamuallaikum
semuanya, gimana kabaranya hari ini?”, salam pembuka aku ucapkan untuk membuka
awal kisahku dengan mereka.
“Wa’allaikumsalam,
kabar baik kak.”, mereka semua menjawab serempak.
Singkat
cerita aku mulai memperkenalkan diri dan bercerita tentang diriku dengan
sedikit guyonan di setiap katanya. Bak seorang komedian yang sedang stand up comedy di depan dan berharap
mereka akan terhibur dengan ceritaku.
“Kak
umurnya berapa?”.
“Kak
kapan lulusnya?”.
“Kak
kenapa gak ngajar di kelas kita aja?”.
Semua
pertanyaan yang gak penting mereka tanyakan termasuk tentang statusku saat ini
yang dengan terpaksa berstatus lajang. Seorang anak yang sekilas mirip dengan
temanku, dengan suaranya yang khas dan ku rasa dialah yang sedari tadi paling
hobi menyiksaku dengan pertanyaan-pertanyaannya. Donata namanya, ia merupakan
salah seorang siswa yang paling mencuri perhatianku. Sejak pertama kali aku
masuk kelas, pandangan sudah tertuju padanya.
Dialah yang paling banyak memberikanku kenangan selama aku berada di
kelas, mulai dari pertanyaan-pertanyaan absurd yang dia ajukan padaku sampai
permintaannya yang membuatku tertawa terbahak-bahak.
Aku
mulai merasa nyaman dengan kelas ini, dengan segala keunikan yang ada
didalamnya serta para penghuninya yang membuatku terkesima. Baru kali ini aku
menjadi seseorang yang dirindukan dan selalu dinantikan kehadirannya. Aku
merasa bahagia akan hal ini, takkan ku lupakan mereka dan aku harap mereka juga
begitu.
***
Siang
hari ini terasa begitu terik, sinar mentari terus menusuk kulit sawo matang
ini. Unit BK menjadi momok menakutkan bagiku, mungkin aku harus menyalahkan
teman-teman yang menceritakan seorang anak yang menghantui ruangan tersebut.
Merinding bulu kudukku mendengar cerita mereka tentang hal itu.
Dengan
tekad yang kuat ku buka perlahan pintu ruangan, mataku terus melotot ke setiap
sudut ruangan kosong.
“Yo jelas kosong bro, iki ruang tamu. Onok
ruangan maneh nang njero. Gak usah terlalu tegang, mbok pikir iki film horor?”,
seru salah seorang temanku yang tanpa ku sadari berada tepat di belakangku.
“Biar
lebih seru bro.”, pembelaan singkat dariku.
Tanpa
basa-basi dan pikir panjang langsung saja ku beranikan diri masuk ke ruangan BK
yang sebenarnya dengan seorang pengutil di belakangku. Apapun yang terjadi aku
siap menghadapi anak tersebut. Ku perhatikan tempat dimana aku berada sekarang,
semua mata tertuju padaku. Jujur aku mulai panik saat itu, sampai tiba saatnya
seseorang membuka pembicaraan.
“Ada
yang bisa dibantu mas?”, seorang wanita dengan hijab yang nampak indah jika
dipandang bertanya dengan suara lembut.
“I
iya, kami berdua sedang ada tugas observasi. Tidak hanya sekedar observasi,
kami disini juga bertugas membantu tim BK jika membutuhkan bantuan.”, dengan
terbata-bata aku menjawab pertanyaan dari beliau.
Benar
apa yang mereka katakan, disini benar-benar ada seorang anak yang menghantui
ruangan ini. Butuh mental baja original bukan yang tiruan untuk bisa
menghadapinya. Seorang anak yang hiperaktif dengan segala tingkah absurd yang
ia miliki membuatku kualahan menghadapinya.
***
Hari
ini hari terakhirku bersama pasukan pejuang berada di sebuah tempat yang aku
sebut sarangnya para manusia absurd. Entah mengapa hatiku merasa gelisah di
hari terakhir aku disini, seakan tak ingin meninggalkan mereka. Langkah kakiku
semakin berat disetiap langkahnya.
“Kak
sepatunya nyangkut kak.”, suara bocah membuyarkan lamunanku.
“Oh
iya, makasih dek.”, dengan senyum di wajah untuk menutupi rasa maluku karena
hal ini.
Aku
duduk termenung di depan kantor sambil menyenandungkan lagu galau yang
menggambarkan suasana hati yang dirundung kegelisahan mendalam. Melihat
anak-anak berlarian di lapangan, bermain sesuka hati mereka. Sesekali mereka
melemparkan senyum padaku dan ku balas dengan senyuman yang tak kalah manis.
“Kak
Dhani.”, mereka menyapaku. Siswa kelas 4D mengerumuniku layaknya aku seorang
pencopet yang dihajar masa. Mataku berbinar-binar menjumpai mereka, seolah aku
menemukan pelipur lara hati yang aku derita. Berbincang dengan mereka membuatku
bahagia.
“Ojok alay woii!!”, seorang teman
berkomentar ketika membaca ceritaku ini.
Ku
ukir sebuah kenangan yang akan membekas di hati mereka, dan aku berharap akan
dipertemukan dengan mereka suatu saat nanti. Kurcaci-kurcaci mungilku.
oyi mas bro sip
BalasHapus